Sabtu, 10 November 2007

Zarro Kaili Jazz

Lirik Lagu Pop Berbahasa Daerah, Mengapa Tidak?

Frans Sartono

Lirik lagu berbahasa daerah bermunculan di belantika musik Indonesia. Zarro lewat album ”Ananta” terbitan C-Pro Record bernyanyi dalam bahasa Kaili, bahasa ibu etnis Kaili yang merupakan kelompok terbesar masyarakat Sulawesi Tengah.
Sebelumnya, grup Nera lewat vokalis Ivan Nestorman bernyanyi dengan bahasa Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bahasa Kaili dan Manggarai selama ini belum pernah muncul di belantika musik pop.
Pada lagu-lagu ciptaan Zarro, lirik bukan sekadar menjadi penyampai makna verbal. Ada semacam kesadaran estetis untuk memperlakukan kata-kata dalam bahasa Kaili itu sebagai bagian dari musik.
”Bahasa daerah saya terdengar musikal. Pengucapannya enak dan kalau dibuat komposisi terasa enak,” kata Zarro (36), pria kelahiran Palu, Sulawesi Tengah, yang bernama lahir Mohammad Nizar.
Zarro tidak berpretensi untuk meramu unsur etnis. Musiknya tetap berbasis pada pop meski ada beberapa sentuhan unsur jazz sebagai pemanis dan penyaman komposisi. Maklum, Zarro adalah vokalis grup Cloropyl yang biasa membawakan jazz. Pendukung musik album Zarro kebanyakan juga personel Cloropyl.
Kalaupun ada elemen etnis, itu hanya bersifat tempelan dan tidak mengubah rasa popnya. Zarro, misalnya, menggunakan la love, instrumen tiup tradisional Palu, yang biasa digunakan dalam ritual pemanggilan roh. La love yang berupa seruling dari bambu itu digunakan dalam lagu Mangge. Pada lagu yang sama digunakan pula perkusi lokal serupa gendang yang disebut gimba.
”Kalau kita gunakan gaya campursari, bahasa yang saya gunakan tidak akan dilirik pasar,” katanya beralasan.
Musik Zarro malah lebih dekat dengan gaya Antonius Carlos Jobim, salah seorang eksponen bossa nova Brasil itu. Ia memang mengaku banyak terpengaruh oleh musik Jobim yang cenderung lirih-lirih lembut, tetapi pada komposisi tertentu cukup bertenaga untuk memancing impuls goyang.
Ia banyak menggunakan instrumen akustik, terutama gitar. Efeknya, musik Zarro terkesan dekat dengan musik kamar. Penggunaan keyboard elektrik ia pilih cita suara yang mellow. Misalnya pada komposisi Dade’ka Komiu yang dipasang pada urutan pertama album.
Zarro memilih bahasa Kaili dengan niat memperkenalkan bahasa daerahnya yang nyaris tak terdengar dalam pergaulan bahasa nasional. Selain itu, bahasa Kaili di telinga Zarro terdengar mirip-mirip bahasa yang digunakan Jobim, bahasa Portugal. ”Saya ingin mengangkat bahasa daerah saya,” katanya.
Bahasa Kaili didukung sekitar 12 dialek. Ada kecenderungan generasi muda Sulawesi Tengah mulai meninggalkan penggunaan bahasa Kaili dalam percakapan sehari-hari. Jika pun digunakan, itu bercampur dengan pengaruh bahasa lain.
”Ketika datang ke Jawa, saya iri mendengar orang bercakap- cakap dengan bahasa Jawa. Adat Jawa sangat kental dan mereka tak malu menggunakan bahasa daerah,” kata Zarro.
Revivalisme bahasa lokal
Munculnya Zarro dan Nera dengan lirik lagu berbahasa daerah belum bisa dijadikan sebagai penanda bangkitnya kembali bahasa daerah dalam khazanah musik pop di Indonesia. Namun, setidaknya ini awal untuk memberi kebaruan belantika musik.
Pada era 1950-1960-an, pembatasan pemutaran musik pop Barat di radio berimbas pada kreativitas seniman lokal untuk berbicara dengan bahasa daerah dalam lirik lagu. Orkes Gumarang yang personelnya adalah Urang Awak memopulerkan lagu berbahasa Minang, seperti Ayam Den Lapeh sampai Laruik Sanjo. Mereka mengakomodasikan unsur musik Latin yang saat itu banyak digemari di negeri ini. Oslan Husein, dengan bahasa Minang pula, memopulerkan lagu seperti Kampuang nan Jauh di Mato, dan Elly Kasim dikenal lewat Bareh Solok.
Lagu-lagu dengan lirik berbahasa Minang digemari di luar masyarakat penutur bahasa Minang. Makna verbal dalam lirik tak masalah bagi pendengarnya. Malah ada efek tak terduga, bertambahnya pengetahuan publik akan bahasa Minang. Bahkan, Bing Slamet yang berasal dari luar masyarakat pengguna bahasa Minang menulis lagu berbahasa Minang, Sansaro.
Dari bahasa Sunda terkenal lagu seperti Neng Geulis, Es Lilin, Teungteuingeun sampai Pileuleuyan, yang dengan enaknya dinyanyikan orang Jawa meski dengan lafal medok. Namun, intinya, lagu itu komunikatif. Begitu juga Paris Barantai dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan serta lagu berlirik bahasa daerah lain yang dikonsumsi publik sebagai lagu pop.
Dalam musik pop, makna verbal dalam lirik lagu dianggap sebagai daya jual. Akan tetapi, musik mempunyai cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan publiknya. Ayam Den Lapeh sampai Neng Geulis telah membuktikannya.
Zarro, Nera, dan lainnya kini mencobanya lagi. Mereka seperti mengais wajah lokal yang belakangan tertimbun produk industri musik global. Imbasnya, banyak orang nyanyi dalam bahasa Inggris—mungkin, supaya mirip dengan artis di MTV. Zarro percaya diri bernyanyi bahasa sendiri dan ternyata komunikatif.